PPABS turut menyampaikan kekhawatiran atas potensi konflik horizontal yang dapat terjadi akibat klaim sepihak yang tidak berdasar.
“Kami meminta Presiden agar persoalan ini diselesaikan sesuai ketentuan hukum, termasuk ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 33 Tahun 2021, serta tidak merujuk pada klaim sepihak tanpa dasar adat dan historis,” kata Jantoguh, yang mengaku masih di Jakarta dalam rang menyampaikan surat PPBS ke lembaga pemerintah lainnya.
Lebih lanjut, DPP PPABS juga menanggapi keberadaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dengan menyebut bahwa lembaga tersebut bukan institusi resmi pemerintah, melainkan organisasi masyarakat sipil yang tidak memiliki kewenangan legal untuk menetapkan wilayah hukum adat.
Terakhir, DPP PPABS menegaskan bahwa setiap kebijakan terkait pengakuan tanah adat di Simalungun harus berlandaskan sejarah peradaban Simalungun dan mengacu pada hak waris kerajaan-kerajaan adat yang telah diakui.
“Klaim tanah adat oleh kelompok yang tidak berasal dari Harajaon Simalungun bukan hanya bentuk pelanggaran sejarah, tapi juga pelanggaran hak asasi terhadap masyarakat adat Simalungun,” tutup Jan Toguh Damanik.(*)